TUGAS MAKALAH ANAK
TENTANG PENYAKIT TETANUS

DISUSUN OLEH
DAVID SAPUTRA
14111904
STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang
Th. 2015 / 2016
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang ber bentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin mi labil pada pemaanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam 5 menit.
Di samping itu dikenai pula tetanolisin yang
bersifat hemolisis, yang perannya kurang berarti dalam proses penyakit.
RUMUSAN MASALAH
a) Apakah pengertian dari tetanus?
b) Apa etiologi dari tetanus?
c) Bagaimana patofisiologi dari tetanus?
d) Apa tanda dan gejala dari tetanus?
e) Bagaimana gambaran umum yang khas pada tetanus?
f) Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada tetanus?
g) Apa komplikasi pada tetanus?
h) Bagaimana prognosa dari tetanus?
i) Bagaimana pencegahan dari tetanus?
j) Bagaimana penatalaksanaan dari tetanus?
k) Bagaimana Askep pada pasien dengan tetanus?
TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan makalah ini adalah:
a) Untuk menjelaskan Pengertian dari Tetanus
b) Untuk menjelaskan Etiologi dari Tetanus
c) Untuk menjelaskan Patogenesis
d) Untuk menjelaskan Patofisiologi dari Tetanus
e) Untuk menjelaskan Tanda dan gejala dari Tetanus
f) Untuk menjelaskan Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
g) Untuk menjelaskan Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
h) Untuk menjelaskan Komplikasi pada Tetanus
i) Untuk menjelaskan Prognosa dari Tetanus
j) Untuk menjelaskan Pencegahan dari Tetanus
k) Untuk menjelaskan Penatalaksanaan pada Tetanus
l) Untuk menjelaskan Askep pada pasien dengan Tetanus
d) Untuk menjelaskan Patofisiologi dari Tetanus
e) Untuk menjelaskan Tanda dan gejala dari Tetanus
f) Untuk menjelaskan Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
g) Untuk menjelaskan Pemeriksaan Diagnostik pada Tetanus
h) Untuk menjelaskan Komplikasi pada Tetanus
i) Untuk menjelaskan Prognosa dari Tetanus
j) Untuk menjelaskan Pencegahan dari Tetanus
k) Untuk menjelaskan Penatalaksanaan pada Tetanus
l) Untuk menjelaskan Askep pada pasien dengan Tetanus
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PENGERTIAN TETANUS
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot rangka
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
Penyakit tetanus (rahang terkunci lockjaw) adalah penyakit akut,
paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanus pasmin, neuro toksin yang
dihasilkan oleh clostridium tetani.
2. ETIOLOGI
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Toksin tetanus adalah bahan kedua yang
paling beracun yang diketahui hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botulinum
dosis letal toksin tetanus diperkirakan 10ˉ⁶
mg/kg.
Faktor predisposisi
a) Umur tua atau anak-anak
b) Luka yang dalam dan kotor
c) Belum terimunisasi
3. PATOGENESIS
Tetanus
terjadi sudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan
menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat
jejas terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin, toksin dilepaskan bersama dengan
sel bakteri vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan
toksin botulinum) adalah protein sederhana 150 kD yang terdiri atas rantai
berat (100 kD) dan ringan (50 kD) yang digabung oleh ikatan disulfit. Toksin
tetanus melekat pada sambungan neuromoskuler dan kemudian diendositosis oleh
saraf motoris, sesudahnya ia mengalami pengangkutan aksonretrogat ke
sitoplasmin motoneuron/ alfa. Pada saraf skiatika kecepatan pengangkutan
ternyata 3,4 mm/jam. Toksin keluar motoneuron dalam medulaspinalis dan
selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal, dimana toksin ini menghalangi
pelepasan neurontranmiter. Toksin tetanus dengan demikian memblekade hambatan
normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan disengaja yang terkoordinasi
; akibatnya , otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya. System
saraf autonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus. Kekuatan toksin tetanus
yang luar biasa adalah bersifat enzimatik. Rantai ringan toksin tetanus (dan
beberapa dari toksin botulinum) adalah Zn2+ yang mengandung endoprotease yang
substratnya adalah sinaptobrevin, suatu unsur pokok protein kompleks yang
berkaitan yang member kesempatan vesikula sinaptik berfusi dengan membran sel
terminal. Rantai berat toksin mengandung daerah (domain) pengikatnya.
4. PATOFISIOLOGI
·
Penyakit tetanus
terjadi karna adanya luka pada tubuh seperti; luka tertusuk paku,pecahan kaca, atau kaleng, luka
tembak,luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi
dapat melalui tali pusat.
·
Organisme multipel
membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan
dan spasme otot, dan mempengaruhi
sistem saraf pusat. Kemudian tetanolysin yang tampaknya tidak significance.
·
Exsotoksin yang
dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler.
Kuman ini menjadi terikat pada sel saraf atau jaringan
saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh arititoksin.
·
Hipotesa cara absorbsi
dan bekerjanya toksin; adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis
silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk
kedalam susunan saraf pusat.
·
Toksin bereaksi pada myoneural
junction yang menghasilkan otot menjadi kejang dan mudah sekali teransang.
·
Masa inkubasi 2 hari
sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang terjadi adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonatus
biasanya 5 sampai 14 hari.
5. TANDA DAN GEJALA
a.
Masa inkubasi tetanus
berkisar antara 2-21 hari.
b.
Ketegangan otot rahang
dan leher (mendadak).
c.
Kesukaran membuka mulut
(trismus).
d.
Kaku kuduk
(epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang.
e.
Saat kejang tonik
tampak risus sardonikus.
·
Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makinpanjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
a) Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b) Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c) Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot
jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan
sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat
adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun
juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,
sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Secara
klinis, tetanus dibedakan atas :
a) Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
a) Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
b)
Tetanus umum
Merupakan
bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat
terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya
disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan
ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot
meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot
punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani
bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah.
Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
c) Tetanus sefalik
c) Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa
inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media;
banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai prognosis
buruk.
Gambaran
umum yang khas pada tetanus :
1).
Badan kaku dengan epistotonus
2). Tungkai dalam ekstensi
3). Lengan kaku dan tangan mengepal
4). Biasanya keasadaran tetap baik
5). Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
2). Tungkai dalam ekstensi
3). Lengan kaku dan tangan mengepal
4). Biasanya keasadaran tetap baik
5). Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
a) Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b) Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.
Pemeriksaan diagnostik pada Tetanus :
1) Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2) Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
3) Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
1) Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2) Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
3) Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
Pemeriksaan penunjang
- EKG: interval CT
memanjang karena segment ST. Bentuk
takikardi ventrikuler (Torsaderde
pointters)
- Pada tetanus kadar
serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar
fosfat dalam serum meningkat.
- Sinar X tulang
tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan subkutan
atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.
Komplikasi pada Tetanus :
1) Bronkopneumoni
2) Asfiksia dan sianosis
2) Asfiksia dan sianosis
3) Spasme otot faring
4) Asfiksia
5) Fraktur kompresi
Prognosa
Penyembuhan
tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medula spinalis dan dengan
emikian pengembalian relaksasi otot. Namun, karena episode tetanus tidak
berakibat produksi antibodi penetralisasi toksin, imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid pada pemulangan dengan pemberian penyempurnaan seri pertamanya adalah suatu
keharusan.
Sangat
buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala. Tetanus
memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita
yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk
dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat
memperburuk keadaan yaitu :
1. Masa
Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari).
2. Neonatus
dan usia tua (lebih dari 5tahun).
3. Frekuensi kejang yang sering.
4. Kenaikan
suhu badan yang tinggi.
5. Pengobatan
terlambat.
6. Periode
trismus dan kejang yang semakin sering.
7. Adanya
penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.
Pencegahan
penyakit tetanus meliputi :
1)
Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11
Bulan
2)
Ibu hamil mendapatkan
suntikan TT minimal 2 X
3)
Pencegahan terjadinya luka & merawat luka
secara adekuat
4)
Pemberian anti tetanus serum.
Penatalaksanaan
pada Tetanus
a) Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :
1) Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka tidak boleh diberikan IV).
2) Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :
1) Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka tidak boleh diberikan IV).
2) Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
3) Agen
anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis
ditingkatkan dengan beratnya kejang
sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4) Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg
4) Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg
IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam
intragastrik, digunakan untuk pengobatan
Sindroma overaktivitas sempatis
jantung
5) Penanggulangan
kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi
rangsanganyang membuat
kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
6)
Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklinatau klinamisin untuk
membunuh klostirida vegetatif
7) Pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
8) Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9) Intermittent
positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
10) Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
10) Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
11) Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi otot dan ambulasi selama penyembuhan.
b. Pembedahan
1) Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
2) Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.
1) Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
2) Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.
BAB
III
PEMBAHASAN
PROSES PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS
1. PENGKAJIAN
A. Riwayat
kesehatan
Hal-hal
yang perlu ditanyakan :
o
Riwayat antenatal , natal dan post natal
o
Imunisasi yang telah didapatkan baik oleh ibu selama kehamian dan anak
o
Lama terjadinya luka
o
Adanya kelainan neurologik seperti kejang otot , gangguan menelan
o
Nyeri otot , sakit kepala, gangguan pola nafas
o
Sebab-sebab terjadinya luka.
Pengkajian keluarga
o
Apakah ada keluarga yang menderita tetanus
o
Kaji harga diri atau mekanisme koping anak dan keluarga
o
Kaji kesiapan orangtua terhadap pemulangan atau perawatan dirumah.
o
Kaji tingkat pengetahuan keluarga
B. Pemeriksaan fisik
o
Tanda-tanda vital , meliputi TD , pola pernapasan , nadi dan suhu
o
Luka yang terlihat : luka pada tubuh yang terinfeksi
o
Kenaikan tonus otot skelet : trismus , kontraksi otot-otot kepala , wajah dan
mulut.
C. Pemeriksaan laboratorium
o
Kultur luka
Dengan mengambil pus ataupun jaringan
nekrotis dari luka , yaitu ditemukanya clostridium
tetani.
o
Test tetanus anti bodi
D. Pemeriksaan penunjang
o
EKG : interval CT memanjang karena segmen ST , bentuk takikardi ventrikuler (
torsaderde pointers)
o
Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto roentgen pada jaringan subkutan
atau basal
ganglia otak menunjukan klasifikasi.
.
II. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan sirkulasi . hipoksemia
berat.
2. Nyeri
akut berhubungan dengan agen injuri biologi
3. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekresi secret
4. Retensi
urin berhubungan dengan kerusakan otot inguina
5. Ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
refleks menelan
6. Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan sukar membuka mulut (kekakuan otot)
7. Resiko
tinggi injuri berhubungan dengan kejang spontan yang terus menerus
8. Koping
keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat dan kurang
pengetahuan terhadap kondisi anak.
III.
INTERVENSI
Dx I : Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan sirkulasi.
hipoksemia berat.
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan status
sirkulasi dan kesadaran pasien stabil , dengan criteria hasil:
NOC
: neurology status consciusness:
o
membuka mata bila ada rangsangan dari luar
o
berkomunikasi sesuai situasi
o
merespon rangsang dari lingkungan
o
tidak ada sakit kepala
Keterangan
skala
1. Tidak
tampak
2. Jarang
tampak
3. Kadang
tampak
4. Sering
tampak
5. Selalu
tampak
NIC
: monitor neurology
o
monitor tingkat kesadaran
o
monitor ukuran , bentuk , kesimetrisan dan kepekaan pupil
o
monitor TTV
o
monitor refleks kornea
o
monitor GCS
o
monitor respon terhadap pengobatan
o
tingkatkan frekuensi monitor tingkat kessadaran jika diperlukan
Dx II : Nyeri akut berhubungan dengan agen
njuri biologi
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan nyeri
berkurang , dengan criteria hasil:
NOC
1 : tingkat nyeri
o
melaporkan nyeri , frekuensi dan lama nyeri
o
memposisikan tubuh untuk mengurangi nyeri
o
perubahan TD , RR , nadi dan suhu dalam batas normal
o
menunjukan ekspresi puas terhadap pengendalian diri
Keterangan
skala
1.
sangat berat
2.
Berat
3.
Sedang
4.
Ringan
5.
tidak ada nyeri
NOC 2 : control nyeri
o
mengungkapkan factor penyebab timbulnya nyeri
o
mengungkapkan terapi non farmalogik
o
dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
o
anak tidak menangis
Keterangan
skala
1.
tidak pernah
2.
Jarang
3.
kadang-kadang
4.
Sering
5.
terus-menerus
NIC
1 : manajemen nyeri
o
kaji secara komprehensif mengenai karakteristik, lokasi durasi, frekuensi.
intensitas,
kualitas , dan factor pencetus nyeri
o
observasi keluhan non verbal terhadap ketidaknyamanan , misalnya anak menangis
o
ajarkan teknik non farmalogik pada keluarga dan anak jka mungkin
o
berikan analgetik sesuai indikasi
o
Bantu pasien mendapat dukungan dari keluarga untuk mengurangi nyeri
o
Beri informasi tentang nyeri meliputi penyebab, durasi, prosedur, antisipasi
ketidaknyamanan pada keluarga dan anak jika
mungkin
NIC
2: monitor tanda-tanda vital
o
monitor TD , RR , nadi dan suhu tubuh
o
monitor pola nafas abnormal
o
identifikasi kemungkinan perubahan tanda-tanda vital
o
cek secara periodic TTV pasien
Dx
III : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekeresi
secret
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan mampu
mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan criteria hasil :
NOC
: status pernafasan
o
Pertukaran gas
o
Mudah untuk bernafas
o
Tidak ada gelisah , sianosis , dispneu
o
Saturasi oksigen dalam batas nnormal
o
Tenuan sinar X dada dalam rentang yang diharapkan
Keterangan
skala:
1.
buruk sekali
2.
Buruk
3.
Sedang
4.
Baik
5.
baik sekali
NIC
: pengisapan jalan nafas
o
tentukan kebutuhan pengisapan oral dan atau trakeal
o
pantau status oksigen dan status hemodinamik dan irama jantung segera , selama
dan setelah pengisapan
o
catat tipe dan jumlah sekresi yang dikumpulkan
o
intruksikan pada keluarga atau mungkin pasien jika mungkin tentang batuk dan
teknik
nafas dalam untuk memudahkan keluarnya
secret.
o
ajarkan pasien dan keluarga tentang pentingnya perubahan pada sputum
(warna,karakter,jumlah, bau)
o
berikan oksigen yang telah dihumodifikasikan sesuai kebijakan institusi
o
anjurkan aktifitas fisik misalnya bermain untuk meningatkan pergerakan sekresi.
Dx
IV : Retensi urin berhubungan dengan kerusakan otot inguiana
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan eliminasi
urin berjalan lamcar dengan criteria hasil :
NOC
: menunjukan kontinensia urin
o
Kandung kemih kosong sempurna
o
Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200 cc
o
Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan
Keterangan
skala
1.
tidak pernah
2.
Jarang
3.
kadang-kadang
4.
Sering
5.
Selalu
NIC
: perawatan retensi urin
o
pantau penggunaan agen yang tidak diresepkan dengan anti klinergik / alfa
agonis
o
pantau efek dari obat yang diberikan seperti anti kolinergik
o
pantau haluaran dan asupan
o
intruksikan keluarga pasien untuk mencatat haluaran bila diperlukan
o
rujuk ke spesialis kontinesia urin jika diperlukan
o
beri privasi untuk eliminasi
o
gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air atau membilas toilet.
Dx
V : Ketidak seimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan refleks menelan
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi dengan criteria hasil :
NOC
: status neurologys
o
kesadaran
o
orientasi kognitif
o
berespon terhadap stimulus lingkungan
o
makan tanpa tersedak
Keterangan
skala
1.
buruk sekali
2.
Buruk
3.
Sedang
4.
Baik
5.
baik sekali
NIC
1 : terapi menelan
o
pantau gerakan lidah klien saat makan
o
pantau hidrasi tubuh ( asupan , haluaran , turgor kulit dan membrane mukosa)
o
kaji mulut dari adanya makanan setelah makan
o
ajarkan pasien menggapai makanan dibibir atau dipipi menggunakan lidah
o
kolaborsi dengan tenaga kesehatan lain misalnya ahli terapi okupasi , ahli
patologi bicara
dan ahli gizi
o
bantu pasien memposisikan kepala fleksi kedepan untuk menyiapkan menelan (dagu
masuk)
o
motivasi keluarga untuk memberikan makanan sesering mungkin terutama jika anak
masih
minum ASI
NIC
2 : kewaspadaan aspirasi
o
Pantau tingkat kesadaran , refleks batuk , refleks muntah , dan kemampuan
menelan
o
Minta obat-obatan dalam bentuk eliksir
o
Posisikan pasien tegak lurus 90 derajat atau sejauh mungkin
o
Makan dengan porsi sedikit
o
Potong makanan kecil-kecil
Dx
VI : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan sukar membuka mulut
(kekakuan otot)
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan pasien
dapat berkomunikasi dengan criteria hasil :
o
Anak dapat berkomunikasi
o
Mengutarakan keinginan
o
Menggunakan bahasa non verbal
Keterangan
skala
1.
buruk sekali
2.
Buruk
3.
Sedang
4.
Baik
5.
baik sekali
NIC
: pencapaian komunikasi
o
kaji kemampuan berkomunikasi
o
gunakan komunikasi yang sederhana
o
ajarkan metode komunikasi alternative yang sesuai
o
anjurkan orangtua sering mengajak berkomunikasi
o
dorong komunikasi terus menerus dengan dunia luar
Dx
VII : Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang yang terus menerus
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan tidak terjadi
injury atau cedera dengan criteria hasil :
NOC
: control resiko
o
memahammi resiko
o
monitor factor resiko
o
mengembangkan strategi untuk mengontrol resiko
o
berpartisipasi dalam mengontrol resiko
Keterangan
skala
1.
tidak pernah
2.
jarang
3.
kadang-kadang
4.
sering
5.
selalu
NIC
: hindari kemungkinan jatuh
o
tempatkan anak dekat dengan orang tua
o
dampingi ketika terjadi kejang
o
gunakan pengekang jika diperlukan
o
berikan tempat tidur dengan pembatas
o
usahakan tidak meninggalkan anak sendirian
Dx
VIII : Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat
dan kurang pengetahuan terhadap
kondisi anak
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam diharapkan keluarga
mempunyai mekanisme koping yang adekuat dengan criteria hasil :
NOC
: koping keluarga
o
keluarga menunjukan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
o
tidak ada depresi
o
mampu mengelola masalah
o orangtua tidak menunjukan rasa malu
Keterangan
skala
1.
tidak tampak
2.
jarang tampak
3.
kadang tampak
4.
sering tampak
5.
selalu tampak
NIC
: dukungan keluarga
o
dukung keluarga menujukan sikap penerimaan terhadap anaknya
o
dorong orangtua mengatasi reaksi berduka , syok atau menolak
o
berikan informasi mengenai kondisi pasien
o
berikan support pada keluarga
o
beri umpan balik pada orangtua berkaitan dengan koping mereka
o
atur pertemuan dengan orangtua lain yang mengalami hal serupa
IV. EVALUASI
Dx
I : Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan sirkulasi
.
hipoksemia berat.
Kriteria
hasil skala
o
membuka mata bila ada rangsangan dari luar
o
berkomunikasi sesuai situasi
o
merespon rangsang dari lingkungan
o
tidak ada sakit kepala
Dx
II : Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
Kriteria
hasil skala
NOC
1
o
melaporkan nyeri , frekuensi dan lama nyeri
o
memposisikan tubuh untuk mengurangi nyeri
o
perubahan TD , RR , nadi dan suhu dalam batas normal
o
menunjukan ekspresi puas terhadap pengendalian diri
NOC
2
o
mengungkapkan factor penyebab timbulnya nyeri
o
mengungkapkan terapi non farmalogik
o
dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
o
anak tidak menangis
Dx
III : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekresi
secret
Kriteria
hasil skala
NOC
1
o
Pertukaran gas
o
Mudah untuk bernafas
o
Tidak ada gelisah, sianosis, dispneu
o
Saturasi oksigen dalam batas nnormal
o
Temuan sinar X dada dalam rentang yang diharapkan
Dx
IV : Retensi urin berhubungan dengan kerusakan otot inguina
Kriteria
hasil skala
o
Kandung kemih kosong sempurna
o
Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200 cc
o
Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan
Dx
V : Ketidak seimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan refleks menelan
Kriteria
hasil skala
o
kesadaran
o
orientasi kognitif
o
berespon terhadap stimulus lingkungan
o
makan tanpa tersedak
Dx
VI : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan sukar membuka mulut
(kekakuan otot)
Kriteria
hasil skala
o
Anak dapat berkomunikasi
o
Mengutarakan keinginan
o
Menggunakan bahasa non verbal
Dx
VII : Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang yang terus menerus
Kriteria
hasil skala
o
Memahammi resiko
o
Monitor factor resiko
o
Mengembangkan strategi untuk mengontrol resiko
o
Berpartisipasi dalam mengontrol resiko
Dx
VIII : Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat
dan kurang pengetahuan terhadap
kondisi anak
Kriteria
hasil skala
o
Keluarga menunjukan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
o
Tidak ada depresi
o
Mampu mengelola masalah
o
Orangtua tidak menunjukan rasa malu
Kata
Pengantar
Puji
syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Anak ini
tentang Tetanus.
Kepada
semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu demi
kelancaran tugas ini.
Kami
menyadari bahwa terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan tugas ini, maka
dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk
kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Padang,
6 Oktober 2015
Penulis
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Suriadi, 2010. Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta:
ISBN
Marilyn E.
Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I
Made, EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar